Oleh:
Esther GN Telaumbanua
Selain laut
dan alamnya yang indah, Nias dikenal dengan kekayaan budaya dan tradisi yang
bernilai sejarah, dan berbeda dengan daerah lain, diantaranya peninggalan
budaya megalitikum dan tradisi lompat batu (hombo batu), arsitektur
rumah adat Nias, Fatele (tarian perang) yang prestisius, berbagai
kreatifitas senibudaya, berbagai keunikan living tradition lainnya.
Inilah yang
menjadi daya tarik Nias hingga sekarang. Peninggalan budaya leluhur ini masih
nyata hingga saat ini tersebar di seluruh wialayah dan menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan ono niha. Omo hada (rumah adat) Nias yang
berusia ratusan tahun merupakan salah satu world’s heritage. Rumah adat
Nias dengan arsitektur khas ini disebut-sebut sebagai konstruksi rumah paling
handal menghadapi bencana. Ironisnya, tingkat kesejahteraan masyarakatnya tidak
selaras dengan kekayaan alam dan heritage yang dimilikinya.
Bencana
tsunami (2004) dan gempa bumi berskala besar (2005) menempatkan Nias jadi pusat
perhatian nasional dan dunia. Selama masa rehabilitasi berbagai program
pembangunan dilakukan. Banyaknya kunjungan lembaga dan wisatawan dari berbagai
negara telah mempromosikan Nias secara tidak langsung. Bagai kurva bergerak
dinamis mengarah ke atas, demikianlah aktivitas kehidupan Nias saat itu. Tetapi
lima tahun pasca bencana terlalui, kenyataannya perekonomian Nias belum bisa
terdongkrak. Seiring dengan perhatian dan kunjungan pihak luar yang perlahan
berkurang, kehidupan Nias kembali bergerak lamban. Bahkan saat ini berbagai
usaha ekonominya termasuk kepariwisataannya mengalami kelesuan. Diukur dari
tingkat tingkat hunian penginapan rata-rata di Nias, terjadi penurunan. Hal ini
menyebabkan usaha jasa wisata dan kegiatan ekonomi di Nias menjadi lesu,
fasilitasi yang ada tidak dapat terpelihara apalagi ditingkatkan, dan sama
sekali belum dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakatnya. Realitas ini
mendorong perlunya terobosan baru untuk menggeliatkan kehidupan Nias.
Bolanafo,
sebuah kearifan
Salah satu tradisi Ono Niha (orang Nias) yang masih hidup dan tetap
dipertahankan sampai sekarang yaitu Bolanafo. Bolanafo, terdiri dari dua suku
kata yaitu bola dan afo. Bola identik dengan pengertian tempat,
sedangkan afo adalah lima ramuan dari tawuo (daun sirih), betua (kapur),
gambe (daun gambir), bago (tembakau), dan fino (buah pinang).
Kelima unsur
ramuan afo dihimpun dan disusun dengan rapi di dalam wadah (bola),
yang secara utuh disebut bolanafo (tempat sirih). Bahan baku anyaman bolanafo
terbuat dari sejenis rumput rawa-rawa Keleömö (Eleocharis dulcis)
yang dikeringkan dan dipipihkan, lalu diberi pewarna dan dianyam. Proses
pengeringan itu sendiri memakan waktu karena sudah pasti sangat tergantung pada
kondisi cuaca, sehingga saat ini banyak yang menggunakan cara baru walau tetap
masih dalam teknologi yang sederhana. Sehingga, tidak mengherankan membuat
sebuah bolanafo ukuran standar 30 x 35 cm, memerlukan waktu 1-2 minggu.
Bagian dalamnya terbuat dari daun tanaman pandan berduri, sinasa. Kedua bahan
baku utama ini merupakan tanaman lokal Nias yang saat ini sudah semakin langka.
Lingkaran bagian mulut anyaman bolanafo dibalut kain berwarna merah.
Motif setiap ornamen bolanafo sangat unik dan indah dengan dominasi
warna merah berkombinasi warna-warna alam yang cerah. Kaum pengrajin bolanafo
tradisionil umumnya menggunakan pewarna berbahan baku alami, yang diambil dari
buah, akar-akar pohon, dan dedaunan misalnya buah pohon sianuza digunakan
untuk pewarna merah. Terutama saat ini, dengan bahan baku yang sudah mulai
sulit ditemukan, untuk pewarna lain para pengrajin mencampurnya dengan pewarna
buatan atau kimia.
Diperkirakan
ada ratusan ragam hias bolanafo terdapat diseluruh kepulauan Nias dengan
berbagai motif yang sangat menarik dan berbeda. Setiap motif bolanafo
mempunyai juga makna dan arti khusus selaras dengan namanya. Misalnya, dikenal
motif Ni’ohulayo yang disebut bola Nina/bola dandrösa
secara khusus dipersembahkan kepada ibu pengantin perempuan dalam pesta
pernikahan sebagai penghargaan dan penghormatan tertinggi sekaligus untuk
mengambil hati seorang ibu karena dia yang merawat dan membesarkan anak
perempuannya dari kecil hingga saat menikah. Ada motif yang kemungkinan besar
terinspirasi dari keindahan taburan bintang kecil dan bintang yang besar maka
disebut bolanafo ni’odöfi dan bolanafo ni’omadala. Ada yang
warnanya dominan ungu, mengingatkan warna ungu tanaman sayuran terung Nias. Ada
juga bermotif meliuk-liuk menggambarkan daun pakis yang tumbuh banyak di Nias
atau bercorak hola-hola galitö (lidah api yang sedang membara) seperti
motif yang terdapat pada mahkota pengantin pria. Jadi, motifnya sangat kaya dan
penamaannya unik sekali karena berkaitan dengan alam dan cerita kehidupan
masyarakat Nias itu sendiri.
Tentang
variasi corak yang ada, ada yang menyebutkan sebagai modifikasi atau
percampuran dari bentuk motif dasar dari Bolanafo yang diwarnai dengan
situasi daerahnya. Disebutkan motif dasar itu adalah Ni’otarawa (motif
terawang), motif semi Ni’otarawa (semi terawang), dan yang polos. Apakah ini
memang motif dasar utama di seluruh daerah di kepulauan Nias, ataukah
dikarenakan motif dasar itu selalu ada dalam setiap ragam hias yang ada,
penulis tidak bisa menyatakannya karena belum ada sumber otentik atau
penelitian tentang ini secara khusus. Banyak yang menyebut Ni’ohulayo (bolanafo
ibu) sebagai ragam hias karena motifnya merupakan percampuan, tapi mungkin
karena Bolanafo jenis ini yang paling sering digunakan maka ada juga
yang menyebutnya sebagai motif dasar. Sungguh sangat dirasa perlu untuk
menelusurinya lebih lanjut.
Dalam ritual
adat Nias, penggunaan motif Bolanafo selaras dengan status sosial
penggunanya dan fungsinya. Ni’otarawa digunakan oleh para balugu
atau yang berstatus bangsawan, yang semi terawang dan Ni’ohulayo
digunakan oleh para banua atau masyarakat umum, dan yang motif polos konon
digunakan oleh masyarakat dengan status sosial paling bawah atau sawuyu (kaum
budak). Dalam keseharian, motif polos ini banyak digunakan umum untuk tempat
sirih masyarakat Nias yang suka menyirih. Jadi, selain motif ragam hias, Bolanafo
memiliki perbedaan fungsi dan bentuk dalam penggunaannya.
Siapa
sesungguhnya yang memberi nama terhadap sebuah karya Bolanfo, dan
bagaimana prosesnya, penulis belum menemukan catatan yang cukup tentang hal
ini. Apakah sang perangrajin yang umumnya perempuan (ibu) Nias langsung memberi
nama, melalui tokoh adat atau masyarakat penggunanya. Yang pasti nama itu sudah
digunakan sejak dulu sampai sekarang. Menarik untuk diketahui sebab Bolanafo
sesungguhnya bukan hanya sebuah karya seni, tetapi berkaitan erat dengan ritual
dan proses budaya Nias. Disamping itu, untuk mengetahui sejauh mana posisi dan
peran sang pembuat bolanafo memiliki arti dalam penciptaan sebuah
kreatifitas budaya semacam Bolanafo ini. Kembali ke soal penamaan,
selain fungsi utamanya, bisa jadi ini ini salah satu dari kearifan lokal
masyarakat Nias untuk merekam peristiwa kehidupan, menyatakan penghargaan atas
ciptaan, dan sebuah proses dokumentasi yang tidak dalam tulisan. Nias tidak
memiliki aksara lokal dan hanya mengenal tradisi lisan yang dikenal dengan hoho
(syair). Sama seperti relief-relief pada rumah adat yang mempunyai makna
dan pesan, maka demikianlah corak pada bolanafo.
Sejarah yang
tersembunyi
Makan sirih merupakan kebiasaan orang Nias. Selain untuk ramuan kunyahan, sirih
memiliki arti khusus dalam tradisi Nias. Fame’e afo atau menyuguhkan
sirih adalah sebuah tradisi penyambutan dan penghormatan tamu. Para ina (ibu)
meramu sirih lalu menata kedalam bolanafo dan disuguhkan. Cara
menyuguhkan kepada tamu juga dengan aturan tertentu dengan bersujud dan
biasanya diawali dengan memberi salam penghormatan yang disebut Fangowai.
Makan sirih mempunyai makna simbolik yang dalam. Penyuguhan dan makan sirih
bersama disimbolkan sebagai upaya menyatukan pemikiran yang berbeda, merajut
perpecahan dan membangun harapan bersama. Oleh sebab itu, makan sirih merupakan
aktivitas awal dalam setiap pertemuan adat, keluarga, dan acara besar
masyarakat Nias. Bila semua dapat duduk bersama makan sirih, maka dapatlah
dikatakan bahwa sudah saling menghormati, menerima dan memahami, sehingga
pembicaraan atau perhelatan yang menjadi inti pertemuan bisa dilakukan. Ini
sebuah kearifan yang sangat bernilai.
Menganyam
wadah atau Bolanafo dilakukan oleh pengrajin tradisionil Nias yang
umumnya adalah para perempuan dan ibu. Pengrajin tradisionil bolanafo masih terdapat
di desa-desa pedalaman Nias dalam jumlah sedikit dan mereka yang bertalenta itu
merupakan ibu-ibu tua yang sudah mendekati usia uzur dengan penglihatan yang
kurang baik. Kehidupan mereka sangat sederhana dan rata-rata berpendidikan
rendah bahkan umumnya tidak mampu berbahasa Indonesia. Mereka tidak menyadari
dibalik kesederhanaan itu ada karunia talenta dan jiwa seni yang sangat
mengagumkan dari Pencipta yaitu ketrampilan membuat bolanafo. Keindahan
bolanafo merupakan ekspresi dari perpaduan keagungan dan kekuatan perempuan
Nias. Perpaduan sifat lemah-lembut, kesabaran, ketabahan, rela berkorban,
loyalitas, disempurnakan dengan etos kerja, ketekunan, dayakreasi yang
imajinatif, dan sikap gigih pantang menyerah.
Kapan
dimulainya tradisi bolanafo ini belum ada dokumen sejarah otentik yang
menyebutkan, tapi kalau ditelusuri lebih jauh, dalam mite tentang asal usul Ono
Niha yang dipercayai secara kolektif oleh masyarakat Nias disebutkan bahwa
orang Nias diturunkan ke Teteholiana’a (lokasi yang dipercaya di tengah
pulau Nias) dari langit oleh Pencipta secara bijaksana dengan dilengkapi böwö
atau adat istiadat dan perlengkapannya yaitu bolanafo dengan unsurnya
tadi. Jadi, mungkin dapat dikatakan umur tradisi bolanafo ini adalah
sepanjang sejarah kehidupan Nias, dan selama itulah para pengrajin perempuan
Nias telah melakukan aktivitas menganyam bolanafo. Bagian ini sering
kurang diperhatikan dan bahkan terlupakan bahwa ada peran nyata dan kapasitas
perempuan Nias yang tidak pernah disorot dan dihargai. Ia menjadi sejarah yang
tersembunyi. Peran signifikan dan prestasi sosok perempuan Nias ini, nyaris
tidak terdokumentasi sebagai bagian yang utuh dalam sejarah Nias. Ada banyak
tulisan tentang Nias dan sejarahnya tetapi tentang peran perempuan Nias belum
diangkat seperti mengangkat peran dan posisi kaum prianya. Posisinya lebih
banyak disorot sebagai objek bukan sebagai subjek. Padahal, melalui Bolanafo
ini dapat dilihat perempuan Nias memiliki peran yang nyata dan signifikan.
Dari sini, semoga hal ini semakin mendorong semua pihak untuk menelusuri
kembali peran-peran perempuan Nias bagi kehidupan Nias yang masih tersembunyi.
Diharapkan hal ini dapat merobah cara pandang yang lebih terbuka, dan mendorong
semangat perempuan Nias untuk dapat lebih mengaktualisasikan diri.
Kegiatan
menganyam bolanafo saat ini hampir punah walau tradisi fame’e afo tetap
berlangsung. Pekerjaan menganyam dinilai kurang memberi manfaat ekonomi secara
cepat. Bahan bakunya sudah mulai sulit didapat karena tidak ditanam secara
khusus. Bolanafo anyaman menjadi barang langka, harus memesan terlebih dahulu
bila meemrlukannya. Penghayatan terhadap nilai tradisi bolanafo mulai kurang
sehingga aktifitas dilakukan seadanya dengan bolanafo dari kain. Diperlukan
upaya menyelamatkan karya seni yang bernilai tinggi ini karena suatu saat dapat
hilang dan tidak mampu digali kembali. Nilai bolanafo dapat diangkat
dari berbagai sisi baik sebagai sebagai barang seni, sebagai piranti budaya,
sebagai warisan leluhur yang memberikan kebanggaan tersendiri (proud dan
pride) dan sebagai produk ekonomi yang bermanfaat bagi pembuatnya serta
daerah Nias.
Potensi
lokal ekonomi kreatif
Memelihara warisan budaya yang positif termasuk kearifan fame’e afo
sangat berarti dalam pembangunan yang berbasis masyarakat, sekaligus mempertahankan
tatanan budaya yang positif dan penghargaan terhadap jatidiri Ono Niha.
Generasi masa kini Nias umumnya sudah kurang mengetahui fungsi dan makna bolanafo,
macam ragam hiasnya, dan cara membuatnya. Hal ini karena terputusnya komunikasi
antar generasi dan tidak adanya kesinambungan terhadap aktifitas kreatif ini.
Karena itu perlu upaya untuk merevitalisasinya.
Bolanafo adalah sebuah karya seni, sebuah
kreatifitas yang berbasis pada kearifan lokal. Sebagai sebuah produk seni, Bolanfo
belum banyak dikenal oleh masyarakat di luat Nias. Diperlukan sebuah
strategi promosi yang tepat untuk mengangkat bolanafo sebagi produk ekonomi
kreatif berdaya saing dan memberi manfaat ekonomis. Strategi itu menyeluruh
meliputi pengembangan sektor hulu sampai ke sektor hilir dimulai dari
pengrajin, bahan baku, peningkatan produktifitas dan perluasan produk, usaha,
sampai pemantapan citra sebagai produk berdaya saing. Pemberdayaan pengrajin
dilakukan untuk meningkatkan kapasitasnya sebagi pekerja kreatif yang berdayakreasi,
produktif dan inovatif.
Pengembangan
yang optimal harus didukung dengan membangun iklim yang kondusif agar terbangun
usaha atau bisnis produktif bolanafo memasuki pasar industri kreatif.
Disini diperlukan kerjasama dan sinergitas dari pemda, masyarakat dan
pengusaha/swasta. Mempromosi Bolanafo sangat potensil mendukung
sektor-sektor ekonomi terkait terutama usaha kerajinan dan kepariwisataan Nias
yang memperluas lapangan pekerjaan dan kelak bermuara pada peningkatan
perkonomian Nias. Ditengah berbagai keterbatasan pemerintah daerah, hal ini
juga berpotensi menjadi alternatif sumber pendanaan. Di tingkat masyarakat, ini
diharapkan membangun kesadaran masyarakat Nias akan potensi diri yang
dimilikinya dan kebanggaan atas karyanya. Upaya promosi Bolanfo juga
mendorong semua pihak melakukan eksplorasi potensi daerah lainnya secara
bersama-sama untuk tujuan pertumbuhan daerah. Penulisan ini juga dimaksudkan
menjadi bagian kecil dari upaya itu. Ditengah keterbataan pengetahuan tentang
bolanfo, kiranya akan mendorong berbagai pihak dapat melengkapi dan
menyempurnakannya, hingga kelak semakin bolanafo kembali secara utuh, baik dan
benar, terposisikan dalam kehidupan Nias dalam berbagai dimensi baru dan yang
bermanfaat mengatasi berbagai ketertinggalan yang ada.
Bolanafo adalah simbol kreatifitas perempuan
Nias dan penghargaan terhadap ciptaan. Bayangkan, bahkan sebelum Michael Porter
merumuskan dan memperkenalkan kerangka rantai-nilai (value chain) tanpa
disadari para ibu (perempuan) di Nias telah menggagas rantai-nilai dari rumput
rawa-rawa kelöamö sampai ke konsumen akhir dalam bentuk Bolanafo. Karya
cipta ini perlu dilindungi, dihargai, dan dikembangkan agar pelestarian
rantai-nilai yang telah digagas tidak sirna begitu saja.
Melalui Bolanafo
pula para ina (ibu) dan perempuan Nias dapat mengaktualisasikan diri dan
meningkatkan ketrampilannya guna mendukung ekonomi keluarga. Bolanafo adalah
warisan budaya, tentunya ini juga merupakan bagian dari kampanye besar
pelestarian pusaka (heritage) secara nasional dan bahkan internasional. Bolanfo
adalah dari, oleh dan untuk Ono Niha. Ya’ahowu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar