Selasa, 22 Maret 2016



KEBUDAYAAN SUKU NIAS

Masyarakat dan Kebudayaan "Suku Nias" di Pulau Nias , Sumatera

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). 


Sejarah Kebudayaan Suku Nias

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.

Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). 
Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan

Mitologi
 
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

 

Penelitian Arkeologi


Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.

 

Marga Nias


Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.

 

Khas Nias

 

1. Makanan Khas

  • Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
  • Harinake (daging Babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
  • Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
  • köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
  • Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
  • raki gae (pisang goreng)
  • tamboyo (ketupat)
  • loma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)

2. Minuman

  • Tuo Nifarö (minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe") yang telah diolah dengan cara penyulingan)
  • Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa)

 

Budaya Nias

1. Lompat Batu
 

2. Tari Perang  

 

3. Maena 
4. Tari Moyo
5. Tari Mogaele
6. Sapaan Yaahowu 
7. Fame ono niahalo (pernikahan)
8. Omohada (rumah adat)
9. Fame'e toi nono nihalo(pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikha)

Dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.

Pakaian Adat Suku Nias

  



Pakaian adat suku Nias dinamakan Baru Oholu untuk pakaian laki-laki dan Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan. Pakaian adat tersebut biasanya berwarna emas atau kuning yang dipadukan dengan warna lain seperti hitam, merah, dan putih. Adapun filosofi dari warna itu sendiri antara lain:
  • Warna kuning yang dipadukan dengan corak persegi empat (Ni’obakola) dan pola bunga kapas (Ni’obowo gafasi) sering dipakai oleh para bangsawan untuk menggambarkan kejayaan kekuasaan, kekayaan, kemakmuran dan kebesaran.
  • Warna merah yang dipadukan dengan corak segi-tiga (Ni’ohulayo/ ni’ogöna) sering dikenakan oleh prajurit untuk menggambarkan darah, keberanian dan kapabilitas para prajurit.
  • Warna hitam yang sering dikenakan oleh rakyat tani menggambarkan situasi kesedihan, ketabahan dan kewaspadaan.
  • Warna putih yang sering dikenakan oleh para pemuka agama kuno (Ere) menggambarkan kesucian, kemurnian dan kedamaian. 

Pendapat Saya :

Pulau nias sebagai pulau utama dengan luas sekitar 5.500 kilometer persegi, menyimpan sejumlah misteri dan keunikan, mulai dari kehidupan sehari-hari didesa tradisional, suasana budaya (cultural landscape) hingga peninggalan megalitik dan arsitektur yang mengagumkan.
Masyarakat nias secara turun temurun menyebut diri sebagai one niba (orang nias) secara harafiah berarti anak manusia yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu puak-puak (suku) berbahasa Austronesia—salah satu leluhur nusantara yang datang paling awal dari suatu tempat di daratan asia.
Berdasarkan sejumlah bukti peradaban tertua, orang nias dihubungkan dengan perkembangan tradisi megalitik (batu besar) yang hingga saat ini masih terlihat keberadaannya. Tinggalan-tinggalan para leluhur seperti rumah adat, tradisi lompat batu, dan tari perang telah menjadi ikon peristiwa yang luluh lantak. Terlebih lagi setelah tertimpa dua bencana : gelombang tsunami pada 2004 dan gempa bumi pada 2005. untuk mengembalikan kejayaan seperti sedia kala, sejumlah pihak telah berupaya membangun kembali nias dengan berbasiskan nilai-nilai budaya yang kini terancam lenyap.
Desa-desa tradisional di pulau nias, yang masih menyimpan sejumlah tinggalan budaya dan para penutur sejarah, dapat menjadi pilihan wisata yang menarik bagi para tetamu yang datang dari jauh. Harapannya, selain menjalankan roda perekonomian Pulau Nias, kegiatan ini mampu mengembalikan kecintaan pada nilai-nilai tradisi yang diwariskan oleh para leluhur.





Sumber : 
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Nias
http://id.wikipedia.org/wiki/Pakaian_Adat_Suku_Nias
http://kkrencong.wordpress.com/2009/01/08/pulau-nias/ 

BUDAYA NIAS

Nias memiliki budaya yang sangat menarik. Lompat batu merupakan salah satu contoh budaya yang paling terkenal dan unik, dimana seorang pria melompat diatas sebuah tumpukan batu dengan ketinggian lebih dari 2 meter. Lompatan itu untuk menunjukkan kedewasaan seorang pria, para pengunjung dapat menyaksikan lompat batu tersebut didesa Bawomatolua, Hilisimaetano atau didesa sekitarnya.

Lompat batu dilakukan untuk menunjukkan kedewasaan seorang pria, walaupun hal ini sangat berbahaya tetapi menjadi sebuah olahraga yang menyenangkan.

Hombo Batu

Tarian perang tradisional Nias juga sangat menarik tetapi jangan takut karena tarian ini bukan untuk menunjukkan perang yang sebenarnya. Para penari mengenakan pakaian tradiional, pakaian yang terbuat dari sabut ijuk dan serat kulit kayu dan kepala mereka dihiasi dengan bulu burung, dan ditangan mereka membawa tombak dan perisai.

Nias memiliki rumah adat yang sangat menarik. Rumah tradisional yang tertua dan terluas yang dinamakan Omo Sebua, yang merupakan rumah asli dan suku yang suka perang terdapat di dea Bawomatulou atau “Sunhill”. Rumah ini tingginya mencapai 22 m dan beberapa tiangnya lebih tebal dari 1 m. Rumah ini masih dimiliki dan ditempati oleh keluarga kerajaan.

Dikebudayaan Nias tarian tradisional merupakan hal penting dan masih ada sampai sekarang, contohnya:

1. Maluaya (tari perang), terdapat diseluruh daerah Nias. Di bagian utara namanya Baluse. Tarian tersebut ditarikan minimal 12 orang pria, dan bila lebih maka akan lebih baik. Pada umumnya lebih 100 orang, gerakannya sangat kuat. Maluaya in PP Batu berbeda dengan daerah Nias lainnya, di PP Batu para wanita juga turut menari. Para wanita menari dengan langkah kecil yang lemah gemulai. Tarian Maluaya ditarikan pada upacara pernikahan untuk masyarakat kelas atas, penguburan dan pesta untuk menyambut pendatang baru.

Maluaya

2. Maena adalah sebuah tarian khas dari Nias Utara yang ditarikan oleh wanita dan pria, biasanya ditarikan pada uapacara pernikahan.

Tari Maena

3. Forgaile adalah sebuah tarian khas Nias Selatan yang ditarikan oleh wanita untuk mengekspresikan rasa hormat dan untuk menyambut tamu khusus dan memberikan mereka sirih tradisional. Di bagian Utara dinamakan Mogaele dan dapat ditarikan oleh wanita dan pria.

4. Foere adalah tarian yang menampilkan lebih dari 12 penari wanita, diiringi dengan seorang penyanyi. Tarian ini merupakan bentuk dari penyembahan untuk berakhirnya kematian dan bencana.

5. Fanarimoyo adalah sebuah tarian yang ditarikan di Nias Selatan dan Utara oleh 20 penari wanita, kadang-kadang didalam lingkaran ditarikan oleh penari pria. Dibagian utara tarian ini dinamakan Moyo. Tarian ini dimulai dengan gerakan seperti elang terbang dan ditampilkan untuk acara hiburan. Tarian ini menggambarkan seorang gadis yang harus menikahi pria yang tidak dicintainya. Dia berdoa supaya menjadi seekor elang yang dapat terbang.

Fanarimoyo

6. Foluaufaulu adalah upacara yang manandakan kedudukan status seseorang pada zaman megalithikum. Dalam upacara ini ditarikan kedua tarian Maluaya dan Foere.

7. Famadaya Hasijimate (Siulu) adalah sebuah upacara pemakaman bagi keturunan raja di Nias Selatan. Di dalam upacara ini, tarian Maluaya ditarikan dibawah pimpinan desa Shaman, peti mati diukir dari batang kayu pohon dan ukiran kepalanya dihiasi dengan sebuah batang kayu untuk memperlihatkan dasarnya setelah itu zenajah tersebut dikuburkan.

8. Mandau Lumelume adalah sebuah tarian dengan tujuan untuk memanggil roh. Tarian ini hanya ada di PP Batu.

9. Manaho adalah tarian yang ditarikan pada acra pernikahan dan untuk menyambut tamu penting. Penari wanita berjejer didepan dan penari pria yang berada disamping melakukan gerakan yang mirip dengan tarian perang. Karena tarian ini sangat mahal biasanya masyarakat kelas bawah menarikan tarian Boli-boli. Tarian ini ditarikan didalam gedung, dengan tujuan agar tamu tidak erasa bosan. Tarian ini hanya ada di PP Batu.

10. Tari Tuwa adalah tarian yang menampilkan seorang penari wanita/pria diatas sebuah meja batu, dengan tujuan untuk menghormati para pemimpin.

11. Fadabu adalah sebuah upacra untuk mempertunjukkan kekebalan seseorang. Sebuah pertunjukkan yang menikam dirinya sendiri dengan benda tajam. Didalam bahasa Indonesia namanya Dabus dan banyak dijumpai di Indonesia.

Fadabu

12. Silat Nias adalah sebuah bentuk seni perang tradisional yang lebih menekankan kepada sisi seninya daripada sisi perangnya. Masyarakat Aceh dan Pesisir memperkenalkn tarian ini ke Nias. Ada banyak jenis nama-nama tarian ini : Starla, Aleale, Sangorofafa, famosioshi, dll.

13. Fatabo adalah sebuah peristiwa unik di PP Batu. Fatabo bukan sebuah tarian hanya sebuah cara untuk menangkap ikan diair yang dangkal. Dua baris orang yang masing-masing dibawah pimpinan, berjalan meninggalkan air tersebut dan membawa sebuah kotak. Pemimpin tersebut meminta agar dibuat suara keras dan memukul air tersebut dengan tongkat, kemudian mereka berjalan diatas tanah, menyembunyikan kotak tersebut dan menyimpan ikan tersebut diantara mereka dan pantai. Di pantai lain barisan pria bergerak melemparkan jaringan untuk menangkap ikan. Keseluruhan peristiwa ini adalah sebuah nilai seni yang mempunyai irama musik dan keributan. Fatabo sangat populer di pulau Sigata dan desa Wawa di tanah Masa. Sekarang sangat jarang dijumpai di Nias.

Beberapa alat musik yang digunakan adalah :

Dolidoli adalah sejenis gamelan yang terbuat dari kayu atau bambu. Garamba adalah gong besar dan sangat penting dalam musik tradisional Nias. Faritia adalah sebuah alat pemukul. Fondrahi adalah sebuah drum kecil yang terbuka disatu sisinya, bentuk yang lebih besar dinamakan Gondra.

Garamba Nias


 http://www.lpamnias.org/

Bolanafo dan Perempuan Nias

Oleh: Esther GN Telaumbanua

Selain laut dan alamnya yang indah, Nias dikenal dengan kekayaan budaya dan tradisi yang bernilai sejarah, dan berbeda dengan daerah lain, diantaranya peninggalan budaya megalitikum dan tradisi lompat batu (hombo batu), arsitektur rumah adat Nias, Fatele (tarian perang) yang prestisius, berbagai kreatifitas senibudaya, berbagai keunikan living tradition lainnya.

Inilah yang menjadi daya tarik Nias hingga sekarang. Peninggalan budaya leluhur ini masih nyata hingga saat ini tersebar di seluruh wialayah dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan ono niha. Omo hada (rumah adat) Nias yang berusia ratusan tahun merupakan salah satu world’s heritage. Rumah adat Nias dengan arsitektur khas ini disebut-sebut sebagai konstruksi rumah paling handal menghadapi bencana. Ironisnya, tingkat kesejahteraan masyarakatnya tidak selaras dengan kekayaan alam dan heritage yang dimilikinya.

Bencana tsunami (2004) dan gempa bumi berskala besar (2005) menempatkan Nias jadi pusat perhatian nasional dan dunia. Selama masa rehabilitasi berbagai program pembangunan dilakukan. Banyaknya kunjungan lembaga dan wisatawan dari berbagai negara telah mempromosikan Nias secara tidak langsung. Bagai kurva bergerak dinamis mengarah ke atas, demikianlah aktivitas kehidupan Nias saat itu. Tetapi lima tahun pasca bencana terlalui, kenyataannya perekonomian Nias belum bisa terdongkrak. Seiring dengan perhatian dan kunjungan pihak luar yang perlahan berkurang, kehidupan Nias kembali bergerak lamban. Bahkan saat ini berbagai usaha ekonominya termasuk kepariwisataannya mengalami kelesuan. Diukur dari tingkat tingkat hunian penginapan rata-rata di Nias, terjadi penurunan. Hal ini menyebabkan usaha jasa wisata dan kegiatan ekonomi di Nias menjadi lesu, fasilitasi yang ada tidak dapat terpelihara apalagi ditingkatkan, dan sama sekali belum dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakatnya. Realitas ini mendorong perlunya terobosan baru untuk menggeliatkan kehidupan Nias.

Bolanafo, sebuah kearifan

Salah satu tradisi Ono Niha (orang Nias) yang masih hidup dan tetap dipertahankan sampai sekarang yaitu Bolanafo. Bolanafo, terdiri dari dua suku kata yaitu bola dan afo. Bola identik dengan pengertian tempat, sedangkan afo adalah lima ramuan dari tawuo (daun sirih), betua (kapur), gambe (daun gambir), bago (tembakau), dan fino (buah pinang).


Kelima unsur ramuan afo dihimpun dan disusun dengan rapi di dalam wadah (bola), yang secara utuh disebut bolanafo (tempat sirih). Bahan baku anyaman bolanafo terbuat dari sejenis rumput rawa-rawa Keleömö (Eleocharis dulcis) yang dikeringkan dan dipipihkan, lalu diberi pewarna dan dianyam. Proses pengeringan itu sendiri memakan waktu karena sudah pasti sangat tergantung pada kondisi cuaca, sehingga saat ini banyak yang menggunakan cara baru walau tetap masih dalam teknologi yang sederhana. Sehingga, tidak mengherankan membuat sebuah bolanafo ukuran standar 30 x 35 cm, memerlukan waktu 1-2 minggu. Bagian dalamnya terbuat dari daun tanaman pandan berduri, sinasa. Kedua bahan baku utama ini merupakan tanaman lokal Nias yang saat ini sudah semakin langka. Lingkaran bagian mulut anyaman bolanafo dibalut kain berwarna merah. Motif setiap ornamen bolanafo sangat unik dan indah dengan dominasi warna merah berkombinasi warna-warna alam yang cerah. Kaum pengrajin bolanafo tradisionil umumnya menggunakan pewarna berbahan baku alami, yang diambil dari buah, akar-akar pohon, dan dedaunan misalnya buah pohon sianuza digunakan untuk pewarna merah. Terutama saat ini, dengan bahan baku yang sudah mulai sulit ditemukan, untuk pewarna lain para pengrajin mencampurnya dengan pewarna buatan atau kimia.

Diperkirakan ada ratusan ragam hias bolanafo terdapat diseluruh kepulauan Nias dengan berbagai motif yang sangat menarik dan berbeda. Setiap motif bolanafo mempunyai juga makna dan arti khusus selaras dengan namanya. Misalnya, dikenal motif Ni’ohulayo yang disebut bola Nina/bola dandrösa secara khusus dipersembahkan kepada ibu pengantin perempuan dalam pesta pernikahan sebagai penghargaan dan penghormatan tertinggi sekaligus untuk mengambil hati seorang ibu karena dia yang merawat dan membesarkan anak perempuannya dari kecil hingga saat menikah. Ada motif yang kemungkinan besar terinspirasi dari keindahan taburan bintang kecil dan bintang yang besar maka disebut bolanafo ni’odöfi dan bolanafo ni’omadala. Ada yang warnanya dominan ungu, mengingatkan warna ungu tanaman sayuran terung Nias. Ada juga bermotif meliuk-liuk menggambarkan daun pakis yang tumbuh banyak di Nias atau bercorak hola-hola galitö (lidah api yang sedang membara) seperti motif yang terdapat pada mahkota pengantin pria. Jadi, motifnya sangat kaya dan penamaannya unik sekali karena berkaitan dengan alam dan cerita kehidupan masyarakat Nias itu sendiri.

Tentang variasi corak yang ada, ada yang menyebutkan sebagai modifikasi atau percampuran dari bentuk motif dasar dari Bolanafo yang diwarnai dengan situasi daerahnya. Disebutkan motif dasar itu adalah Ni’otarawa (motif terawang), motif semi Ni’otarawa (semi terawang), dan yang polos. Apakah ini memang motif dasar utama di seluruh daerah di kepulauan Nias, ataukah dikarenakan motif dasar itu selalu ada dalam setiap ragam hias yang ada, penulis tidak bisa menyatakannya karena belum ada sumber otentik atau penelitian tentang ini secara khusus. Banyak yang menyebut Ni’ohulayo (bolanafo ibu) sebagai ragam hias karena motifnya merupakan percampuan, tapi mungkin karena Bolanafo jenis ini yang paling sering digunakan maka ada juga yang menyebutnya sebagai motif dasar. Sungguh sangat dirasa perlu untuk menelusurinya lebih lanjut.

Dalam ritual adat Nias, penggunaan motif Bolanafo selaras dengan status sosial penggunanya dan fungsinya. Ni’otarawa digunakan oleh para balugu atau yang berstatus bangsawan, yang semi terawang dan Ni’ohulayo digunakan oleh para banua atau masyarakat umum, dan yang motif polos konon digunakan oleh masyarakat dengan status sosial paling bawah atau sawuyu (kaum budak). Dalam keseharian, motif polos ini banyak digunakan umum untuk tempat sirih masyarakat Nias yang suka menyirih. Jadi, selain motif ragam hias, Bolanafo memiliki perbedaan fungsi dan bentuk dalam penggunaannya.

Siapa sesungguhnya yang memberi nama terhadap sebuah karya Bolanfo, dan bagaimana prosesnya, penulis belum menemukan catatan yang cukup tentang hal ini. Apakah sang perangrajin yang umumnya perempuan (ibu) Nias langsung memberi nama, melalui tokoh adat atau masyarakat penggunanya. Yang pasti nama itu sudah digunakan sejak dulu sampai sekarang. Menarik untuk diketahui sebab Bolanafo sesungguhnya bukan hanya sebuah karya seni, tetapi berkaitan erat dengan ritual dan proses budaya Nias. Disamping itu, untuk mengetahui sejauh mana posisi dan peran sang pembuat bolanafo memiliki arti dalam penciptaan sebuah kreatifitas budaya semacam Bolanafo ini. Kembali ke soal penamaan, selain fungsi utamanya, bisa jadi ini ini salah satu dari kearifan lokal masyarakat Nias untuk merekam peristiwa kehidupan, menyatakan penghargaan atas ciptaan, dan sebuah proses dokumentasi yang tidak dalam tulisan. Nias tidak memiliki aksara lokal dan hanya mengenal tradisi lisan yang dikenal dengan hoho (syair). Sama seperti relief-relief pada rumah adat yang mempunyai makna dan pesan, maka demikianlah corak pada bolanafo.

Sejarah yang tersembunyi 

Makan sirih merupakan kebiasaan orang Nias. Selain untuk ramuan kunyahan, sirih memiliki arti khusus dalam tradisi Nias. Fame’e afo atau menyuguhkan sirih adalah sebuah tradisi penyambutan dan penghormatan tamu. Para ina (ibu) meramu sirih lalu menata kedalam bolanafo dan disuguhkan. Cara menyuguhkan kepada tamu juga dengan aturan tertentu dengan bersujud dan biasanya diawali dengan memberi salam penghormatan yang disebut Fangowai. Makan sirih mempunyai makna simbolik yang dalam. Penyuguhan dan makan sirih bersama disimbolkan sebagai upaya menyatukan pemikiran yang berbeda, merajut perpecahan dan membangun harapan bersama. Oleh sebab itu, makan sirih merupakan aktivitas awal dalam setiap pertemuan adat, keluarga, dan acara besar masyarakat Nias. Bila semua dapat duduk bersama makan sirih, maka dapatlah dikatakan bahwa sudah saling menghormati, menerima dan memahami, sehingga pembicaraan atau perhelatan yang menjadi inti pertemuan bisa dilakukan. Ini sebuah kearifan yang sangat bernilai.


Menganyam wadah atau Bolanafo dilakukan oleh pengrajin tradisionil Nias yang umumnya adalah para perempuan dan ibu. Pengrajin tradisionil bolanafo masih terdapat di desa-desa pedalaman Nias dalam jumlah sedikit dan mereka yang bertalenta itu merupakan ibu-ibu tua yang sudah mendekati usia uzur dengan penglihatan yang kurang baik. Kehidupan mereka sangat sederhana dan rata-rata berpendidikan rendah bahkan umumnya tidak mampu berbahasa Indonesia. Mereka tidak menyadari dibalik kesederhanaan itu ada karunia talenta dan jiwa seni yang sangat mengagumkan dari Pencipta yaitu ketrampilan membuat bolanafo. Keindahan bolanafo merupakan ekspresi dari perpaduan keagungan dan kekuatan perempuan Nias. Perpaduan sifat lemah-lembut, kesabaran, ketabahan, rela berkorban, loyalitas, disempurnakan dengan etos kerja, ketekunan, dayakreasi yang imajinatif, dan sikap gigih pantang menyerah.

Kapan dimulainya tradisi bolanafo ini belum ada dokumen sejarah otentik yang menyebutkan, tapi kalau ditelusuri lebih jauh, dalam mite tentang asal usul Ono Niha yang dipercayai secara kolektif oleh masyarakat Nias disebutkan bahwa orang Nias diturunkan ke Teteholiana’a (lokasi yang dipercaya di tengah pulau Nias) dari langit oleh Pencipta secara bijaksana dengan dilengkapi böwö atau adat istiadat dan perlengkapannya yaitu bolanafo dengan unsurnya tadi. Jadi, mungkin dapat dikatakan umur tradisi bolanafo ini adalah sepanjang sejarah kehidupan Nias, dan selama itulah para pengrajin perempuan Nias telah melakukan aktivitas menganyam bolanafo. Bagian ini sering kurang diperhatikan dan bahkan terlupakan bahwa ada peran nyata dan kapasitas perempuan Nias yang tidak pernah disorot dan dihargai. Ia menjadi sejarah yang tersembunyi. Peran signifikan dan prestasi sosok perempuan Nias ini, nyaris tidak terdokumentasi sebagai bagian yang utuh dalam sejarah Nias. Ada banyak tulisan tentang Nias dan sejarahnya tetapi tentang peran perempuan Nias belum diangkat seperti mengangkat peran dan posisi kaum prianya. Posisinya lebih banyak disorot sebagai objek bukan sebagai subjek. Padahal, melalui Bolanafo ini dapat dilihat perempuan Nias memiliki peran yang nyata dan signifikan. Dari sini, semoga hal ini semakin mendorong semua pihak untuk menelusuri kembali peran-peran perempuan Nias bagi kehidupan Nias yang masih tersembunyi. Diharapkan hal ini dapat merobah cara pandang yang lebih terbuka, dan mendorong semangat perempuan Nias untuk dapat lebih mengaktualisasikan diri.

Kegiatan menganyam bolanafo saat ini hampir punah walau tradisi fame’e afo tetap berlangsung. Pekerjaan menganyam dinilai kurang memberi manfaat ekonomi secara cepat. Bahan bakunya sudah mulai sulit didapat karena tidak ditanam secara khusus. Bolanafo anyaman menjadi barang langka, harus memesan terlebih dahulu bila meemrlukannya. Penghayatan terhadap nilai tradisi bolanafo mulai kurang sehingga aktifitas dilakukan seadanya dengan bolanafo dari kain. Diperlukan upaya menyelamatkan karya seni yang bernilai tinggi ini karena suatu saat dapat hilang dan tidak mampu digali kembali. Nilai bolanafo dapat diangkat dari berbagai sisi baik sebagai sebagai barang seni, sebagai piranti budaya, sebagai warisan leluhur yang memberikan kebanggaan tersendiri (proud dan pride) dan sebagai produk ekonomi yang bermanfaat bagi pembuatnya serta daerah Nias.

Potensi lokal ekonomi kreatif 

Memelihara warisan budaya yang positif termasuk kearifan fame’e afo sangat berarti dalam pembangunan yang berbasis masyarakat, sekaligus mempertahankan tatanan budaya yang positif dan penghargaan terhadap jatidiri Ono Niha. Generasi masa kini Nias umumnya sudah kurang mengetahui fungsi dan makna bolanafo, macam ragam hiasnya, dan cara membuatnya. Hal ini karena terputusnya komunikasi antar generasi dan tidak adanya kesinambungan terhadap aktifitas kreatif ini. Karena itu perlu upaya untuk merevitalisasinya.


Bolanafo adalah sebuah karya seni, sebuah kreatifitas yang berbasis pada kearifan lokal. Sebagai sebuah produk seni, Bolanfo belum banyak dikenal oleh masyarakat di luat Nias. Diperlukan sebuah strategi promosi yang tepat untuk mengangkat bolanafo sebagi produk ekonomi kreatif berdaya saing dan memberi manfaat ekonomis. Strategi itu menyeluruh meliputi pengembangan sektor hulu sampai ke sektor hilir dimulai dari pengrajin, bahan baku, peningkatan produktifitas dan perluasan produk, usaha, sampai pemantapan citra sebagai produk berdaya saing. Pemberdayaan pengrajin dilakukan untuk meningkatkan kapasitasnya sebagi pekerja kreatif yang berdayakreasi, produktif dan inovatif.

Pengembangan yang optimal harus didukung dengan membangun iklim yang kondusif agar terbangun usaha atau bisnis produktif bolanafo memasuki pasar industri kreatif. Disini diperlukan kerjasama dan sinergitas dari pemda, masyarakat dan pengusaha/swasta. Mempromosi Bolanafo sangat potensil mendukung sektor-sektor ekonomi terkait terutama usaha kerajinan dan kepariwisataan Nias yang memperluas lapangan pekerjaan dan kelak bermuara pada peningkatan perkonomian Nias. Ditengah berbagai keterbatasan pemerintah daerah, hal ini juga berpotensi menjadi alternatif sumber pendanaan. Di tingkat masyarakat, ini diharapkan membangun kesadaran masyarakat Nias akan potensi diri yang dimilikinya dan kebanggaan atas karyanya. Upaya promosi Bolanfo juga mendorong semua pihak melakukan eksplorasi potensi daerah lainnya secara bersama-sama untuk tujuan pertumbuhan daerah. Penulisan ini juga dimaksudkan menjadi bagian kecil dari upaya itu. Ditengah keterbataan pengetahuan tentang bolanfo, kiranya akan mendorong berbagai pihak dapat melengkapi dan menyempurnakannya, hingga kelak semakin bolanafo kembali secara utuh, baik dan benar, terposisikan dalam kehidupan Nias dalam berbagai dimensi baru dan yang bermanfaat mengatasi berbagai ketertinggalan yang ada.

Bolanafo adalah simbol kreatifitas perempuan Nias dan penghargaan terhadap ciptaan. Bayangkan, bahkan sebelum Michael Porter merumuskan dan memperkenalkan kerangka rantai-nilai (value chain) tanpa disadari para ibu (perempuan) di Nias telah menggagas rantai-nilai dari rumput rawa-rawa kelöamö sampai ke konsumen akhir dalam bentuk Bolanafo. Karya cipta ini perlu dilindungi, dihargai, dan dikembangkan agar pelestarian rantai-nilai yang telah digagas tidak sirna begitu saja.


Melalui Bolanafo pula para ina (ibu) dan perempuan Nias dapat mengaktualisasikan diri dan meningkatkan ketrampilannya guna mendukung ekonomi keluarga. Bolanafo adalah warisan budaya, tentunya ini juga merupakan bagian dari kampanye besar pelestarian pusaka (heritage) secara nasional dan bahkan internasional. Bolanfo adalah dari, oleh dan untuk Ono Niha. Ya’ahowu!